Hukuman Mati di Kota Tua, Dipancung Hingga Digantung
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Siapa yang mulai dihukum mati pada zaman VOC? Yang jelas gubernur jenderal JP Coen pernah memancung seorang calon perwira muda VOC bernama Pieter Contenhoef di alun-alun Balai Kota (Stadhuis), kini Museum Sejarah Jakarta.
Pasalnya, pemuda berusia 17 tahun itu tertangkap basah saat bermesraan dengan Sara, gadis berusia 13 tahun yang dititipkan di rumah Coen. Sara sendiri, didera dengan badan setengah telanjang di pintu masuk Balai Kota. Sara adalah puteri Jacquees Speex dari hasil kumpul kebonya dengan wanita Jepang.
Pada 29 Juli 1676 di tempat yang sama dilaksanakan hukuman terhadap empat orang pelaut karena membunuh orang Cina. Kemudian, hampir dalam waktu bersamaan enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya pada malam hari.
Pada masa kompeni hukuman bagi ‘penjahat’ memang berat. Pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan, dengan pedang atau guillotine primitif, dilaksanakan di depan serambi Balai Kota pada hari-hari tertentu setiap bulan. Seorang Mestizo, putra seorang ibu pribumi dan ayah berkulit putih, digantung hanya karena mencuri. Sementara delapan pelaut dicap dengan lambang VOC yang panas dan membara, karena disersi dan pencurian.
Prajurit VOC wajib memiliki disiplin yang tinggi. Mereka yang melalaikan tugas tidak ampun lagi akan mendapatkan hukuman berat. Pernah dua tentara Belanda digantung karena selama dua malam meninggalkan pos mereka.
Perzinahan, apalagi perbuatan serong, mendapat hukuman berat. Ini dialami oleh seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena beberapa kali melakukan perselingkuhan. Kalau sekarang ini eksekusi dengan tembak sampai mati tidak akan dilakukan di muka umum, dulu saat guilletin masih berlaku, masyarakat diminta untuk mendatangi tempat eksekusi. Menyaksikan bagaimana kepala terpisah dari badan.
Untung Suropati lolos dari eksekusi karena dibantu oleh Suzanna, puteri majikannya yang menaruh hati pada budak dari Bali ini. Malah Untung berhasil membunuh Kapten Tack, ketika hendak menumpas pemberontakan yang dipimpinnya.
Prasasti Kapten Tack dapat kita saksikan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya yang dituduh hendak melakukan pemberontakan menjelang malam tahun baru 1722 juga dieksekusi secara kejam. Badannya dirobek jadi empat bagian kemudian dilempar keluar kota untuk santapan burung. Kita juga dapat menjumpai prasastinya di Museum Prasasti.
Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, pada abad ke-19 juga tewas di tiang gantungan. Dia tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita tidak peduli anak dan istri orang. Padahal, ia masih remaja. Termasuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita dan pesaing bisnisnya.
Oey menaiki tiang gantungan dengan tenang dan wajah berseri dalam usia 31 tahun. Kepada sang algojo dia berkata: ”Dikantongku ada sejumlah uang. Ambillah asal kau tidak terlalu kejam menghukumku.”