Budaya

Ruwatan, Ritual Sakral untuk Buang Sial

Tetua adat manjamas
Tetua adat manjamas "bojah bajang" pada ritual ruwatan potong rambut gembel di komplek Candi Arjuna, dataran tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Masyarakat Jawa percaya ketika seseorang atau kelompok atau lembaga selalu diliputi berbagai masalah, atau terbentur kegagalan, perlu dilakukan upacara ruwatan. Ruwatan biasanya diselenggarakan sebagai usaha membebaskan manusia kesialan, aib, dan dosa. Selain itu ruwatan dipercaya mampu menghindarkan diri agar tidak dimangsa Batara Kala (Dewa Waktu).

Dalam mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) yang berwujud raksasa. Upacara ruwatan yang artinya kembali ke semula, biasanya digelar bersama pertunjukan wayang kulit dengan lakon yang berkisah tentang Batara Kala, Murwakala. Tak hanya di masyarakat Jawa saja, warga Sunda juga mengenal upacara "Ngeruwat" yang digelar bersamaan dengan pertunjukan wayang golek.

Sang dalang akan woro-woro kepada penonton ketika pertunjukan mendekati jam 12 malam. Dalang berkata, Sang Batara Kala, makhluk raksasa penyebar bala, pemakan otak manusia, akan keluar sebentar lagi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Para penonton yang tak ingin menyaksikan acara wayang yang biasanya baru berakhir menjelang Subuh, diharapkan segera pulang jika tak ingin bertemu Batara Kala di perempatan jalan. Kepercayaan yang dibangun di masyarakat Jawa dan Sunda membuat masih sering kita temui sesajen atau ancak di perempatan jalan. Isinya kembang tujuh rupa, air mawar, telur ayam dan lisong. Biasanya ada tambahan kopi hitam kental sebagai pelengkap.

Tentunya sesajen yang tujuannya diberikan sebagai makanan jin itu dalam ajaran agama Islam tidak diperbolehkan. Sebab, dengan memberikan sesajen kepada setan, sama saja menduakan Allah.

Salah satu upacara ruwatan yang paling terkenal di masyarakat Jawa adalah ruwatan anak berambut gimbal. Bahkan upacara itu menjadi daya tarik tersendiri dalam kegiatan "Dieng Culture Festival" dan ditujukan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi anak-anak berambut gimbal yang diyakini sebagai anak bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan).

Konon anak berambut gembel atau gimbal yang berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Pemotongan rambut gimbal harus dilakukan melalui ruwatan karena jika tanpa diruwat, sang anak akan sakit dan rambut gimbalnya akan kembali tumbuh.

Ruwatan rambut gimbal sebenarnya dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak. Dengan demikian, jika anaknya belum berkehendak, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun telah memiliki dana untuk menggelar ruwatan termasuk menuruti apapun permintaan anak yang akan diruwat.

Tak hanya di wilayah Jawa dan Sunda saja, Jakarta dan sekitarnya yang termasuk Megapolitan juga masih banyak yang mempercayai dan mengalami kisah mistik. Terbaru adalah kisah babi ngepet di Depok. Meski akhirnya terungkap jika babi jadi-jadian itu ternyata adalah palsu, banyak warga yang masih percaya akan hal mistis.

RUWATAN PENOLAK BALA
Tradisi ruwatan memang masih hidup di dalam masyarakat Jawa. Ritual ini bermakna pembebasan sekaligus penyucian manusia sukerto dari "dosa bawaan". Ruwatan dilakukan kepada para sukerto, anak-anak yang berdosa karena takdir, akan menjadi santapan Batara Kala.

Kisah di balik itu semua karena janji Batara Guru, ayah dari Batara Kala yang mengizinkan Batara Kala memangsa anak-anak sukerto. Namun, Batara Guru mengatakan ritual ruwatan akan menyelamatkan anak-anak sukerto dari santapan Batara Kala.

Dalam tradisi Jawa, ada tiga kelompok anak-anak yang masuk dalam kategori sukerto. Pertama sukerto karena kelahiran, yakni:

1. Ontang-anting : Anak tunggal laki-laki.
2. Unting-unting : Anak tunggal wanita.
3. Gedhana-gedhini : Satu anak laki-laki dan satu anak wanita dalam keluarga.
4. Uger-uger lawang : Dua anak laki-laki dalam keluarga.
5. Kembar sepasang : Dua anak wanita dalam keluarga.
6. Pendhawa : Lima anak laki-laki dalam keluarga.
7. Pendhawa pancala putri : Lima anak perempuan dalam keluarga.

8. Gotong Mayit : Tiga anak wanita semua.
9. Cukil dulit : Tiga anak laki-laki semua.
10. Serimpi : Empat anak wanita semua.
11. Sarambah : Empat anak laki-laki semua.
12. Sendang kapit pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah wanita.
13. Pancuran kapit sendang : Anak tiga, dua wanita, yang tengah laki-laki.
14. Sumala : Anak cacat sejak lahir.
15. Wungle : Anak lahir bule.
16. Margana : Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan.
17. Wahana : Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta.
18. Wuyungan : Anak lahir di waktu perang atau lagi ada bencana.
19. Julung sungsang : Anak lahir di tengah hari.
20. Julung sarab : Anak lahir waktu matahari terbenam.
21. Julung caplok : Anak lahir di senja hari.
22. Julung kembang : Anak lahir saat fajar.
23. Kembar : Dua anak laki-laki atau wanita lahir bersamaan.

Kelompok kedua adalah karea kesalahan, meski tidak disengaja. Antara lain memecahkan gandhik (alat untuk membuat jamu), menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) saat masak nasi, serta orang yang bersiul pada tengah hari. Kelompok ketiga karena sering mendapat musibah, seperti sakit-sakitan, sering sial, sering mendapat nasib buruk, dan sebagainya.

Banyak versi tentang anak-anak sukerto. Pakem Pangruwatan Murwakala menyebut 60, pakem Pustaka Raja Purwa mengatakan 136, dan Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto. Sedangkan dalam Buku Murwokolo tertulis ada 147 macam sukerto.

Kelompok kedua adalah karea kesalahan, meski tidak disengaja. Antara lain memecahkan gandhik (alat untuk membuat jamu), menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) saat masak nasi, serta orang yang bersiul pada tengah hari. Kelompok ketiga karena sering mendapat musibah, seperti sakit-sakitan, sering sial, sering mendapat nasib buruk, dan sebagainya.

Banyak versi tentang anak-anak sukerto. Pakem Pangruwatan Murwakala menyebut 60, pakem Pustaka Raja Purwa mengatakan 136, dan Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto. Sedangkan dalam Buku Murwokolo tertulis ada 147 macam sukerto.