News

Apa Itu Henti Jantung yang Renggut Nyawa Anak Nurul Arifin?

Putri dari aktris dan politikus Nurul Arifin, Maura Magnalia Madyaratri (kiri), meninggal dunia akibat henti jantung.
Putri dari aktris dan politikus Nurul Arifin, Maura Magnalia Madyaratri (kiri), meninggal dunia akibat henti jantung.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Maura Magnalia, anak artis senior yang kini menjadi politikus, Nurul Arifin, meninggal dunia karena henti jantung. Selain merenggut nyawa Maura, henti jantung juga menjadi penyebab wafatnya maestro keroncong Indonesia, Didi Kempot. Lantas apa itu henti jantung?

Dokter Spesialis Jantung Primaya Hospital Bekasi Timur, dr Ivan Noersyid SpJP menjelaskan, Sudden Cardiac Arrest (SCA) atau henti jantung adalah kondisi jantung berhenti bekerja dan berkontraksi, sehingga tidak ada aliran darah yang cukup untuk menghidupi otot jantung dan organ vital lainnya. Jantung dilengkapi dengan sistem listrik yang berfungsi untuk membangkitkan implus-implus yang menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung. Henti jantung dapat terjadi dalam kondisi jantung tidak bekerja namun masih terdapat aliran listrik.

“Hal tersebut dapat terjadi karena gangguan irama atau beberapa faktor lainnya. Jadi, kontraksi jantungnya bergetar saja namun jantung tidak memompa aliran darah,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun ia berkata tidak semua pasien yang mengalami henti jantung akan meninggal dunia karena harus melalui beberapa proses. Menurutnya, tahapan henti jantung dimulai dari kematian otot-otot jantung.

“Setiap 4 menit, bagian-bagian otot jantung di dalam tubuh akan mengalami kematian. Semakin lama penanganan seseorang yang mengalami henti jantung, maka akan semakin banyak otot jantung yang mengalami kematian," kata dia menjelaskan.

"Jika seseorang mengalami henti jantung namun tidak dilakukan tindakan medis lebih lanjut, maka orang tersebut dapat mengalami kematian."

Orang yang mengalami henti jantung dibuktikan dengan tidak teraba nadi karotis dan dilakukan pengecekkan irama jantung melalui Elektokardiogram (EKG). Ada dua kondisi irama jantung yang terlihat dari hasil EKG, pertama kondisi irama asistol berupa aris datar atau dengan kata lain irama jantungnya datar (tidak berirama), kedua irama pulseless electrical activity (PEA) dan ketiga kondisi irama seperti garis seperti rumput (ventrikular takikardi atau fibrilasi).

Untuk pasien dengan kondisi irama jantung asistol atau PEA, maka pasien akan dilakukan tindakan resusitasi jantung paru yaitu tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. “Hal yang dilakukan adalah kompresi dinding dada (pemompaan jantung dari dinding luar dada), pemberian nafas baik melalui alat bantuan pernafasan, pemberiam cairan atau obat,” ujarnya.

Proses resusitasi jantung paru untuk pasien dengan irama jantung datar akan di evaluasi selama 10 hingga 20 menit. Jika dalam waktu lebih dari 30 menit tidak ada perubahan dari pasien, maka kemungkinan harapan hidup pasien sangat kecil.

Jika hasil EKG menunjukkan irama seperti garis rumput (ventrikular takikardi atau fibrilasi), maka pasien akan dilakukan defibrilasi atau diestrum sebagai terapi utama selain di lakukam resusitasi jantung paru ( RJP). Dengan dilakukan defibrilasi, gangguan irama jantung yang terjadi dapat di restart ulang.

Jika iramanya kembali normal, pasien tersebut akan dilakukan pemeriksaan gelombang listrik pada pembuluh nadi. Jadi seseorang dapat tampak seolah-oleh hidup dengan adanya gelombang listrik tersebut padahal jantungnya tidak bekerja. Jika denyut nadi tidak teraba, maka akan dilakukan proses Resusitasi Jantung Paru seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Di sisi lain, jika denyut nadi kembali berdenyut atau terdereksi, maka akan ditinjau apakah pasien tersebut masih bernafas atau tidak. Jika masih bernafas, maka pasien akdiberikan bantuan pernapasan seperti pemasangan selang bantu pernapasan berupa ventilator.

Kemudian, pasien akan dilakukan pengecekkan terhadap tekanan darah dan dilakukan evaluasi lanjutan terhadap irama jantung, kecepatan nadi, dan pemeriksaan kondisi penyakit di tubuh pasien untuk melihat potensi penyebab henti jantung.

“Pada intinya, pasien henti jantung masih dapat diselamatkan jika dilakukan evakuasi ke rumah sakit dalam waktu yang cepat. Semakin cepat Resusitasi Jantung Paru dilakukan akan semakin tinggi harapan hidup pasien,” ujarnya.

Namun, jika melihat seseorang secara tiba-tiba tak sadarkan diri akibat henti jantung, Anda tak perlu panik. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Universitas Indonesia, dr Radityo Prakoso, SpJP(K), dalam webinar "Selamatkan Nyawa dengan Teknik Resusitasi yang Tepat", mengatakan semua orang dapat melakukan bantuan hidup jantung dasar (BHJD) sebagai tindakan penyelamatan nyawa setelah terjadi henti jantung.

"Kematian akibat penyakit jantung penyebab utamanya adalah henti jantung mendadak. Ternyata, henti jantung ini kalau ditolong dalam rentang waktu lima menit, keberhasilannya bisa baik," kata dr Radityo.

BHJD merupakan gabungan dari pengamatan dan tindakan yang tidak terputus. Komponen yang harus dikuasai dalam melakukan oleh penolong adalah menilai keadaan pasien, kompresi dada yang baik, penggunaan alat defibrilasi otomatis (AED), dan penilaian pergerakan dada serta pemberian bantuan nafas yang baik.

Adapun tahapan BHJD secara umum adalah memastikan lingkungan sekitar aman, mengecek respons pasien, mengaktifkan sistem emergensi, chest compression (kompresi dada), airway (jalan nafas), dan breathing (pernafasan). "Sebelum menolong, pastikan lingkungannya aman untuk melakukan resusitasi. Misalnya, kalau pasien di tengah jalan ya ke pinggirkan dulu, atau kalau dia kesetrum ya sumber listriknya dimatikan dulu," ujar dr Radityo.

Lalu mengapa harus kompresi dada sebelum airway? Karena menurut dr Radityo, pada henti jantung tekanan rata-rata oksigen dalam arteri umumnya masih baik. "Sehingga pemberian oksigen pada henti jantung tidak terlalu penting," ucap dia.

Namun di masa pandemi ini, dr Radityo mengingatkan bahwa dalam BHJD, penolong hanya dapat melakukan tahap kompresi dada dan tidak boleh melakukan airway dan breathing sebagai upaya pencegahan penularan virus Covid-19.