Sejarah

Misteri Pedang Keadilan Berlumuran Darah di Museum Sejarah Jakarta

Pedang Keadilan yang digunakan untuk memenggal kepala para penjahat di era Kolonial. Pedang ini sekarang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta. Foto: Ist
Pedang Keadilan yang digunakan untuk memenggal kepala para penjahat di era Kolonial. Pedang ini sekarang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta. Foto: Ist

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sebuah pedang tua yang terdapat di lantai dua Museum Sejarah Jakarta, tampak kehitaman karena usianya. Pedang itu tersimpan di sebuah tempat jam di sudut kanan gedung yang telah berusia lebih dari tiga abad.

Melihat pedang yang panjangnya lebih satu setengah meter itu saya meyakini bahwa sang algojo mestilah seorang yang kuat tenaganya. Diceritakan Abah Alwi, ia tidak dapat menjawab ketika banyak pertanyaan, berapa kepala yang terpenggal oleh ayunan ‘pedang keadilan’ itu. Yang jelas, pada 6 Juni 1629, seorang perwira muda VOC berusia 16 tahun bernama Contenhoeff pernah dihukum pancung di halaman muka Balaikota (kini Museum Sejarah) dengan pedang itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Perwira tampan ini dipenggal karena poatang (ketahuan) saat berhubungan badan dengan Saartje Specx (12 tahun), puteri pedagang senior Jacques Specx, dari hasil ‘kumpul kebo’ dengan wanita Jepang. Kedua sejoli itu, atas permintaan Gubernur Jenderal JP Coen, dihukum berat. Saartje disiksa di halaman yang sama.

BACA JUGA: Imlek di Era Kolonial, Sukarno, Hingga Pelarangan di era Soeharto

Pada tahun 1630 pemerintah kolonial di Negeri Belanda melarang untuk mengirim wanita Belanda ke Asia. Suatu perkecualian dibuat bagi pegawai tinggi yang diizinkan membawa istri dan anak-anak mereka. Akibatnya adalah suatu masyarakat dengan banyak lelaki dan hanya sedikit wanita berkulit putih.

Karena itulah mereka mengawini para wanita untuk dijadikan nyai, dan lahirlah banyak keturunan Indo-Belanda. Di Batavia orang Belanda memakai istilah mestizen untuk orang berdarah campuran antara Asia dan Eropa. Mereka memakai bahasa Portugis, umumnya bahasa di abad ke-19 di Batavia.

Sejarawan Belanda, Hans Bonke, menyebutkan, janda-janda kaya dari pegawai Kompeni sangat disukai sebagai istri seorang bujangan yang ambisius. Dengan demikian terjadi hubungan keluarga di antara keluarga-keluarga penting yang mempengaruhi masa depan seseorang.

BACA JUGA: Hotel-Hotel Tua di Jakarta

Kembali pada ‘pedang keadilan’ di bagian sayap kanan gedung berlantai dua ini Pangeran Diponegoro pernah mendekam sebelum dibuang ke Sulawesi. Menjawab pertanayaan tentang siapa-siapa yang pernah dipancung, yang pasti di antara mereka adalah Pieter Everbeld dan para pengikutnya yang dituduh ingin melakukan makar pada 1 Januari 1722. Sedang Bang Puasa jagoan dari Kwitang (dituduh membunuh Nyai Dasima) dan Oei Tamnbahsia (playboy dan pembunuh) dihukum di tiang gantungan.

Tempat eksekusi juga di bagian depan Museum Sejarah Jakarta. Yang menarik saat eksekusi disaksikan orang ramai, karena diumumkan melalui corong dari kampung ke kampung. Rupanya peristiwa yang mengerikan ini kala itu sangat disenangi. Yang datang berduyun-duyun.

Berita Terkait

Image

Kereta Nyebur ke Sawah karena Tubruk Kerbau di Ancol, Ulah Si Manis?

Image

Kereta Nyebur ke Sawah karena Tubruk Kerbau di Ancol, Ulah Si Manis?

Image

Shalat di Masjid Istiqlal, Mabuk di Restoran Bioskop Capitol

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Seperti Cinta, Kisah Sejarah Juga Perlu Diceritakan