Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Hak dan Martabat Wanita: Pengangkatan Derajat Wanita dalam Cahaya Kebenaran Islam

Agama | 2025-02-24 11:07:42

Pendahuluan

Dalam ajaran Islam, perempuan memiliki derajat yang tinggi dan tempat yang mulia. Pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara terkait pengangkatan derajat wanita dalam Islam memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana Islam memandang wanita, baik dari perspektif sosial, rumah tangga, maupun peranannya dalam masyarakat. Islam, sebagai agama wahyu, mengajarkan kesetaraan manusia di hadapan Allah Swt., meskipun perbedaan jasmani seperti postur tubuh dan warna kulit tetap ada. Dalam konteks ini, wanita mendapatkan perlindungan dan penghormatan, yang diatur dengan penuh kehati-hatian dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga, pernikahan, dan peran sosial.[1]

Islam dan Penghormatan terhadap Wanita

Islam mengajarkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan berbeda secara fisik, hakikat kemanusiaan keduanya adalah setara, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya:[2]

Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. (QS Al-’Alaq: 2)

Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam ketauhidan). (Setelah timbul perselisihan), lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). (QS Al-Baqarah: 213)

Allah Swt. menciptakan umat manusia dalam kesatuan yang sama sebagai satu umat (ummatan wahidah), tanpa memandang gender, ras, ataupun warna kulit. Ajaran ini menekankan pentingnya kesetaraan, termasuk dalam hal hak dan kewajiban antara suami dan istri.

Wanita dalam Islam diberikan hak-hak yang mulia, termasuk dalam ranah rumah tangga. Suami, sebagai pemimpin rumah tangga, diharapkan untuk memimpin dengan bijaksana, penuh pengertian, serta memiliki sikap pemaaf dan pengampun terhadap kesalahan istri dan anak-anaknya.

Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (perbuatan seorang istri meninggalkan kewajibannya, seperti meninggalkan rumah tanpa rida suaminya) berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu), pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisā’: 34)

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. (Kadang-kadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau bapaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama). Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS At-Tagābun: 14)

Dalam hal ini, Islam mengajarkan pentingnya kesetaraan dalam hubungan suami istri, di mana hak dan kewajiban masing-masing pihak diatur dengan adil dan bijaksana. Islam juga mendorong suami untuk meningkatkan kesadaran spiritual, terutama ketika memasuki usia 40 tahun, dengan berfokus pada pembinaan keluarga dan menjaga hubungan yang harmonis (QS 46:15).

Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia (anak itu) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS Al-Aḥqāf: 15)

Larangan terhadap Pembunuhan Anak Perempuan

Salah satu aspek penting yang diperkenalkan Islam untuk melindungi wanita adalah larangan terhadap pembunuhan anak perempuan. Pada masa jahiliah, ada tradisi yang memandang anak perempuan sebagai aib dan lebih memilih untuk membunuh mereka. Namun, dalam Islam, tindakan ini dianggap sebagai dosa besar dan dilarang keras (QS 16:58-59). Islam mengajarkan bahwa setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama untuk hidup dan diberi rezeki oleh Allah Swt.

(Padahal), apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu! (QS An-Naḥl: 58-59)

Rasulullah ﷺ menjadi contoh teladan dalam hal ini. Meskipun memiliki anak perempuan, beliau tidak merasa malu atau rendah diri. Salah satu contoh konkret adalah sikap Rasulullah ﷺ terhadap putri terkasihnya, Sayyidah Fatimah Az-Zahra, yang dihormati dan dimuliakan, bukan dianggap sebagai beban. Sebaliknya, Rasulullah ﷺ juga menunjukkan sikap yang sama terhadap anak laki-lakinya, yang tidak membenarkan tindakan pembunuhan terhadap anak laki-laki, sebagaimana yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap anak-anak laki-laki Bani Israil (QS 6:137-140, 7:127).

Demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang musyrik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. (QS Al-An’ām: 137)[3]

(Fir’aun) menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.” (QS Al-A’rāf: 127)

Contoh Keteladanan dalam Pernikahan

Islam juga memberikan contoh tentang kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Rasulullah ﷺ, meskipun memiliki banyak istri, tidak melakukannya dengan sembarangan. Pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah r.a., istri pertama yang beliau cintai dan hargai, menunjukkan bagaimana pernikahan seharusnya dilaksanakan dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang. Rasulullah ﷺ tidak menikah dengan perempuan lain selama Sayyidah Khadijah masih hidup sebagai bentuk penghormatan.

Setelah wafatnya Sayyidah Khadijah, Rasulullah ﷺ menikahi beberapa perempuan lain, tetapi pernikahan tersebut dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para janda yang ditinggalkan oleh suaminya dalam medan perang. Sekali-kali Rasulullah ﷺ tidak menikahi banyak istri karena didasarkan pada nafsu, tetapi pada kepentingan dakwah dan mengajarkan syariat Islam. Contohnya ketika beliau menikahi istri sahabat karibnya, Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar. Ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya mengatur urusan ibadah, melainkan juga memberikan petunjuk yang jelas mengenai pernikahan dan kehidupan keluarga.

“(Poligami) itu hanya boleh digunakan dalam kondisi darurat. Makanya Nabi itu sebagian besar umurnya tidak poligami. Setelah Sayyidah Khadijah meninggal, baru Nabi poligami. Dan poligaminya Nabi itu tidak dasar nafsu. Yang dipoligami oleh Nabi, (perempuan) yang secara ekonomi jatuh, secara sosial jatuh. (Mereka) dinikahi oleh Nabi agar ngangkat namanya, agar secara sosial ekonomi kedongkrak. Makanya bukan atas dasar nafsu.” Habib Ja’far menjelaskan poligami seperti dikutip dalam theAsianparent.[4]

“Jangankan poligami, lu menikah aja, kalau modal lu cuma nafsu, ancur rumah tangga lu,” ujar sang Habib yang memiliki garis keturunan langsung kepada Rasulullah Muhammad ﷺ.

Pernikahan sebagai Pilar Masyarakat

Menurut temuan dalam bukunya, Suryanegara menyatakan bahwa pernikahan dalam Islam bukan hanya sekadar hubungan antara dua individu, tetapi juga merupakan fondasi bagi kehidupan masyarakat yang harmonis. Rumah tangga yang stabil dan sakinah, mawadah, dan rahmah menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Islam memang menekankan pentingnya monogami. Akan tetapi, pada saat yang sama Islam juga memberikan ruang bagi poligami dengan syarat yang sangat ketat dan berat, yaitu perlakuan yang adil kepada setiap istri.

Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (QS An-Nisā’: 3)

Sesungguhnya kebolehan poligami dalam Islam ini ibarat pintu darurat dalam pesawat. Bilamana tidak darurat dan mendesak, maka pintu itu tidak digunakan, tetapi pintu itu tetap harus ada dan berfungsi dengan baik.

“Dia tidak boleh ditutup paten, tapi tidak boleh dibuka seenaknya. Kalau ditutup paten, berarti kita menentang apa yang telah Tuhan gariskan kepada kita sebagai seorang muslim, yang itu ada dalam Alquran, terlepas dari perbedaan penafsirannya,” jelas Habib Ja’far, dikutip dari Malang Times.

“(Pintu pesawat) Kalau dibuka juga seenaknya itu nggak. Jadi bagi saya, hanya orang yang bisa berlaku adil, dan kemudian menjamin dirinya tidak akan menyakiti siapa-siapa yang diperbolehkan untuk itu. Dan asasnya bukan nafsu,” imbuh keterangan Habib Ja’far. [5]

Kehidupan Keluarga dan Tanggung Jawab Sosial

Suryanegara juga mengingatkan bahwa dalam membina keluarga, suami dan istri tidak boleh merasa terbebani dengan adanya anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Rezeki untuk keluarga datangnya dari Allah Swt., dan setiap anak memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, tanpa ada perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan.

Pandangan yang menganggap rumah tangga tidak sempurna tanpa anak laki-laki, sebagaimana yang dikatakan dalam beberapa tradisi masyarakat, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Rasulullah ﷺ memberikan contoh bagaimana beliau tidak menceraikan istri-istrinya, meskipun tidak memiliki anak laki-laki.

Kesimpulan

Pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara mengenai pengangkatan derajat wanita dalam Islam menunjukkan bagaimana Islam memberikan perhatian besar terhadap hak-hak wanita, baik dalam konteks rumah tangga, sosial, maupun keluarga. Islam mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menghormati hak hidup anak-anak perempuan, dan mencontohkan kehidupan keluarga yang harmonis serta penuh kasih sayang.

Dengan demikian, Islam tidak hanya memberikan ajaran tentang ritual ibadah, tetapi juga mengatur kehidupan manusia secara holistik untuk mencapai kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. Wanita dalam Islam dipandang sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang mulia, dan perlakuan terhadap mereka harus dilandasi oleh nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan rasa hormat.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Kementerian Agama Republik Indonesia, “Qur’an Kemenag,” dalam Qur’an Kemenag (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2022), https://quran.kemenag.go.id/.

[3] QS Al-An’ām: 137: Mengenai surah ini, sebagai tambahan penjelasan, bahwasanya orang Arab adalah penganut syariat Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s. pernah diperintah Allah Swt. untuk mengurbankan anaknya, Ismail. Kemudian, sejumlah pemuka agama mereka mengaburkan pengertian berkurban itu sehingga dapat menanamkan rasa memandang baik membunuh anak-anak mereka dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Padahal, alasan yang sesungguhnya adalah karena mereka takut miskin dan takut ternoda.

[4] Fitriyani, “Pandangan Habib Husein Ja’far Al Haddar tentang Poligami dalam Pernikahan,” theAsianparent, 2022, https://id.theasianparent.com/pandangan-habib-husein-jafar?utm_source=article-top&utm_medium=copy&utm_campaign=article-share.

[5] Binti Nikmatur, “Habib Ja’far Bicara soal Poligami Seperti Pintu Darurat Pesawat, Apa Maksudnya?,” Malang Times, 4 Agustus 2023, https://www.malangtimes.com/baca/293965/20230804/075100/habib-jafar-bicara-soal-poligami-seperti-pintu-darurat-pesawat-apa-maksudnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image