Sejarah

Pangeran Jayakarta, Dikalahkan Belanda Bangun Negara Bernama Jatinegara

Makam Pangeran Jayakarta.
Makam Pangeran Jayakarta.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pangeran Ahmad Jakatra mendirikan sebuah negara di pengasingan. Ia membangunnya pada 31 Mei 1619, setelah istananya, berikut perkampungan penduduk dan sebuah masjid di Pasar Ikan – Batavia, dibumihanguskan Belanda.

Pangeran dan para pengikutnya lalu mengungsi ke Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur. Saat itu wilayah tersebut masih berupa rawa-rawa dan hutan belukar. Di tempat yang kini terletak antara penjara Cipinang dan Pulogadung inilah, pangeran mendirikan negara di tempat pengasingannya yang diberinama Jatinegara atau negara sejati.

Di tempat ini, pangeran juga membangun sebuah masjid, mencontoh Rasulullah saat hijrah dari Mekah ke Medinah. Dari masjid yang kini bernama Ash-Salafiyah pangeran dan pengikutnya bersumpah untuk merebut kembali Jayakarta. Sekalipun upaya ini tidak berhasil, tapi para prajurit Islam ini telah berhasil selama puluhan tahun mengusik Belanda untuk tidak pernah tenang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tambahan ‘Kaum’ hingga menjadi Jatinegara Kaum, karena selama ratusan tahun kampung ini hanya ditinggali para kerabat. Sehingga menjadi kampung tertutup. Sekalipun kini sudah banyak pendatang baru, tapi lebih dari separuhnya masih ditinggali oleh keturunan pangeran. Pada masa pendudukan Jepang (1942), sebutan Batavia diganti dengan Jakarta, sedangkan Mester Cornelis menjadi Jatinegara.

Saat VOC menaklukkan Jayakarta, daerah ini masih berada di bawah kekuasaan Banten. Karena itu hubungannya dengan Banten tidak pernah putus. Apalagi dengan kedatangan dua putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, masing-masing pangeran Sageri dan pangeran Sake pada 1640. Keduanya di samping panglima perang, juga merupakan juru dakwah yang handal.

Pangeran Sageri jadi da’i yang beken di sekitar Jatinegara Kaum hingga Bekasi, dan pangeran Puger di Jawa Barat. Di tempatnya yang baru ini, pangeran Ahmad Jakatra menyampaikan wasiat kepada anak keturunannya. Mereka dilarang memberitahukan letak makamnya. Hingga makam pangeran dan keluarganya yang terletak di samping kompleks masjid baru diketahui 1956. Mereka juga diminta untuk berbahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari.

Yang hingga kini masih dipatuhi para orang tua, sementara generasi mudanya tidak bisa berbahasa Sunda. Ini dimaksudkan oleh pangeran untuk merahasiakan identitas mereka, mengingat Belanda selalu mengejar-ngejarnya. Sedangkan perempuan tidak boleh kawin dengan orang luar, untuk memelihara keturunan. Bila mereka kawin dengan orang luar, maka anak mereka tidak berhak lagi memakai gelar raden. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan murid dari Syekh Yusuf dari Makassar yang mengajarkannya tarekat Nagsabandiah.

Tarekat Nagsabandiah masih dianut penduduk, sekalipun mereka sendiri tidak tahu bahwa aliran agama yang mereka anut itu adalah tarekat Nagsabandiah. Karena itu, pembacaan Hikayat Syekh Samin, yang di Jakarta sudah hilang, masih terdapat di sini. Ada lagi larangan pangeran Ahmed Jakatra yang hingga kini dipatuhi oleh keturunannya di Jatinegara Kaum. Ia tidak membolehkan mereka memukul gong.

Ketika Mendagri Amirmachmud pada 1978 meresmikan kantor PAM di tepi kali Sodong (Sunter), Jatinegara Kaum, saat gong hendak dipukul, talinya putus. Warga percaya putusnya tali gong hingga batal dipukul akibat pangeran tidak berkenan. Karena itu jangan harap di kampung ini ada wayang golek atau gambang kromong.