Sejarah

Warga Betawi Lebaran di Jakarta yang Ditinggal Pendatang Pulang Kampung

Suasana Mudik 1960-an. Para pemudik berebut naik kereta api untuk pulang ke kampung halaman. Foto: Tangkapan Layar.
Suasana Mudik 1960-an. Para pemudik berebut naik kereta api untuk pulang ke kampung halaman. Foto: Tangkapan Layar.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sebagian besar warga Jakarta sudah mudik meninggalkan ibu kota. Baik dengan kendaraan pribadi, umum, kereta api, kapal laut, maupun udara. Bagi mereka, Lebaran tidak pulang kampung kurang afdol.

Saking rindunya kepada keluarga di kampung halaman, tidak jarang orang berani memboncengkan istri dan anak naik motor untuk jarak ratusan kilometer. Bagi orang Minang —yang sejak kecil dididik untuk merantau dan diperkirakan lebih dua juta orang di Jakarta— saat mudik dikenal dengan istilah ‘pulang besamo’. Mudik berkonvoi, dengan berbagai stiker ditempel di mobil, lalu disambut dan dielu-elukan voorijder di perbatasan provinsi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

BACA JUGA: Cak Nun: Ikut Muhammadiyah Otomatis Jadi NU, Kalau Ikut NU Puncaknya Jadi Muhammadiyah

Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ”Ayo ke rantau mengubah nasib,” kira-kira begitulah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.

Kondisi saat sebagian masyarakat berebut mudik, sampai akhir 1950-an, jauh berbeda. Ketika itu tidak terlalu disibukkan arus mudik. Tidak ada posko-posko khusus. Apalagi pengerahan aparat keamanan untuk mengamankan Lebaran.

BACA JUGA: Tulisan Lengkap Rektor ITK Soal Jilbab Manusia Gurun, Insha Allah, Barakallah, dan Qadarullah