Demi Ambisi Kuasai Hindia Belanda, Raffles dan Daendels Berperang Hingga Puluhan Ribu Nyawa Prajurit
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Di Singapura kita akan mendapati banyak nama tempat yang mengabadikan Sir Thomas Stamford Raffles. Ada nama lapangan, jalan, bulevard, tempat rekreasi dan hotel yang mengabadikan nama pendiri kota ‘singa’ itu. Ada juga patung Raffles, saat dia pertama kali menginjakkan kakinya di Temasek (1819), sebuah dusun nelayan berawa-rawa yang kini menjadi Singapura.
Hal itu menunjukkan pemerintah dan rakyat negara pulau tersebut menghargai jasa penguasa dari Inggris itu. Padahal, cita-cita awalnya ketika ia membangun Singapura adalah untuk menyaingi bandar Batavia, tempat dia berkuasa selama lima tahun (1811-1816).
Bertolak belakang dari Raffles, Marsekal Herman Willem Daendels (1805-1808) hampir tidak dikenal masyarakat Indonesia. Padahal, marsekal bertangan besi yang diangkat menjadi gubernur jenderal oleh Louis Bonaparte, adik Kaisar Napoleon saat berkuasa di Belanda itu, sampai saat ini masih kita dapati peninggalannya. Daendels dijuluki ‘Napoleon Betawi’ karena kesetiannya terhadap Prancis. Dialah yang memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng). Menyebabkan Batavia meluas ke arah selatan.
Daendels-lah yang membangun jalan raya sepanjang 1.000 km dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan, suatu karya monumental bila diingat kala itu belum ada alat-alat berat. Dalam satu versi dia disebut bengis karena memerintahkan kepada para sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja paksa (rodi) untuk membangun Groote Postweg (Jalan Raya Pos).
Fakta sejarah menunjukkan akibat pembangunan jalan yang kini dapat kita nikmati itu, ribuan pekerja mati dan mayat-mayat berkaparan tak terkuburkan. Masyarakat desa yang dilanda kelaparan sudah tidak lagi mampu bangkit, apalagi mengurus saudara-saudaranya yang meninggal yang oleh agama diwajibkan untuk dimuliakan. Sekitar 12 ribu orang mati.
Versi lain, kerja membangun Jalan Raya Pos tidak gratis. Pemerintah Hindia Belanda memberikan para pekerja yang atau gaji melalui para penguasa daerah. Namun gaji tersebut tidak pernah sampai kepada rakyat yang bekerja karena ditilep alias dikorupsi para penguasa daerah, sehingga terkesan proyek Jalan Raya Pos adalah kerja paksa.
Ada lagi prestasi Daendels, ketika ia datang ke suatu daerah, ia menancapkan tongkat kayu dan berkata, ”Coba usahakan bila aku datang kembali di tempat ini telah dibangun sebuah kota.” Kemudian jadilah Bandung, yang dijuluki Parijs van Java dan Kota Kembang. Bung Karno ketika menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (1955) yang dihadiri puluhan kepala negara sengaja memilih Bandung. Kini Bandung yang dulu dikagumi Belanda dan wisatawan mancangara mendapat predikat baru: Kota Macet.
Gagasan membangun Jalan Paya Pos muncul di benak Daendles saat ia dalam perjalanan darat pada 29 April 1808 dari Buintenzorg (Bogor) ke Semarang, terus ke Jawa Timur. Itu menunjukkan tekadnya bila diingat jalan ini masih hutan belantara dan melalui daerah-daerah pegunungan dengan banyaknya tebing dan jurang.