Demi Keindahan Kota, Gubernur Jakarta Buang Anak Jalanan ke Pulau Edam
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pada 1950 Jakarta kurang berkembang. Kota yang sebelum PD II (1942-1945) hanya berpenduduk setengah juta jiwa, dengan berbagai fasilitas yang rusak akibat perang harus melayani satu juta orang. Sementara itu, setelah penyerahan kedaulatan (28 Desember 1949), pembangunan di ibu kota hampir tidak pernah berjalan akibat gonta-ganti kabinet. Begitu seringnya penggantian kabinet sehingga ada humor ketika seorang anggota parlemen ketiduran saat dengar pendapat dengan pemerintah. Ketika ia mendusin yang memberikan keterangan ternyata sudah menteri yang berlainan.
Dalam situasi demikian, Syamsuridjal, gubernur DKI atau dulu wali kota Jakarta Raya (27 Juni 1951-1 November 1953) bertekad menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan. Wali kota dari Masyumi sangat memperhatikan keindahan dan kebersihan. Pada tiap persimpangan jalan dan kampung-kampung diberikan penerangan listrik guna kelancaran lalu lintas.
BACA JUGA: Kaiin Bapa Kayah, Pendekar dari Tangerang yang Lawan Kompeni dan Tuan Tanah Pencekik Rakyat
Kala itu belum terdapat lampu lalu lintas seperti sekarang. Bahkan, pada 1960-an hanya beberapa tempat strategis di Jakarta yang sudah memiliki lampu lalu lintas (hijau, kuning, dan merah). Lalu lintas dikendalikan polantas tanpa lampu lalu lintas. Polisi lalu lintas ini berdiri tegak di tengah jalan sambil menggerak-gerakkan tangan untuk memberi isyarat ‘jalan’ dan ‘stop’.
Dalam memelihara keindahan kota, Syamsuridjal mengadakan pembersihan terhadap gelandangan yang makin merangsek Jakarta. Kala itu gelandangan banyak yang tinggal di emper toko, bawah jembatan, dan di gubuk-gubuk liar di sepanjang jalan kereta api.
BACA JUGA: Download Lagu dari YouTube Pakai MP3 Juice: Dijamin Aman, Cepat, dan Mudah Prosesnya
Para gelandangan dikembalikan ke tempat asal... baca di halaman selanjutnya...