Sejarah

Apakah Arab Saudi Merayakan Maulid Nabi?

Makam Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika
Makam Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sekitar 200 tahun lalu, tepatnya pada masa pemerintahan Inggris (1808-1816), Sir Thomas Stanford Raffles memuji kegigihan dakwah ulama Betawi. Ulama-ulama Betawi itu membangun sejumlah masjid di Jakarta yang saat ini usianya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Tentu saja masjid-masjid itu tidak dapat dipisahkan dari peran para ulama dan pastinya dukungan umat Islam.

Pujian ini disampaikan Raffles dalam peringatan ulang tahun Bataviasch Genoot schap, lembaga kesenian beranggotakan warga Kristen. Prihatin terhadap keberhasilan dakwah ulama Betawi -yang kala itu masih tradisional- dia meminta Bataviasch Genoot schap belajar dari mereka.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

BACA JUGA: Nama Kota Tua Diganti Jadi Batavia: Ini Pintu Kecil Menuju Benteng Batavia Zaman Belanda

Masih menurut pendiri Singapura tersebut, pada awal abad ke-19 Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung. Jika kala itu dikatakan sebagian besar bangsa Indonesia buta huruf Latin, tidak demikian dengan huruf Arab Jawi yang merupakan bacaan dalam bahasa Malayu.

"Jika sukses para mubaligh ini dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan," kata Raffles. Seperti layaknya meneruskan Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi tetap menunjukkan kebencian terhadap kiai dan mubaligh.

BACA JUGA: Daendels Bangun Jalan Anyer-Panarukan, Thomas Raffles Pugar Candi Borobudur

Menurut risalah dari Rabithah Alawiyah pada 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendidikan, termasuk tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran sejak kelahiran Jamiatul Khair (1905) bermunculan pendidikan Islam.

Namun, upaya pemerintah kolonial ini tidak berhasil. Buya Hamka mengibaratkan penjajah dan anak negeri sebagai minyak dan air. Meski dimasukkan dalam botol, tidak bisa bercampur.

BACA JUGA: Gus Baha Tolak Uang Sumbangan Miliaran Rupiah dari Pengusaha Arab Saudi, Ini Alasannya