News

28 Oktober, Sejarah Hari Sumpah Pemuda: Sumpah untuk Lepas dari Penjajah

Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/10). Pada peringatan Sumpah Pemuda ke 93 kali ini, Museum sumpah pemuda masih melakukan penutupan sementara layanan kunjungan untuk umum. Biasanya museum ini ramai dikunjungi warga pada peringatan sumpah pemuda 28 Oktober. Hari sumpah pemuda ke 93 kali ini mengambil tema Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh. Foto: Prayogi/Republika
Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/10). Pada peringatan Sumpah Pemuda ke 93 kali ini, Museum sumpah pemuda masih melakukan penutupan sementara layanan kunjungan untuk umum. Biasanya museum ini ramai dikunjungi warga pada peringatan sumpah pemuda 28 Oktober. Hari sumpah pemuda ke 93 kali ini mengambil tema Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh. Foto: Prayogi/Republika

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Memasuki sebuah gedung di Jl Kramat Raya 106, Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat kita dapat menyelami kembali peristiwa bersejarah pada 28 Oktober 1928. Saat para pemuda dari berbagai Nusantara mengikrarkan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Di gedung yang kini dilestarikan menjadi Museum Sumpah Pemuda itu, dapat ditemui berbagai koleksi yang berkaitan dengan peristiwa itu, pada Ahad malam 28 Oktober 1928.

Di antaranya koleksi biola milik komponis Wage Rudolf Soepratman, yang dipakai untuk pertama kalinya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia sesaat sebelum Sumpah Pemuda dibacakan. Gesekan biolanya kadang diselingi suaranya yang agak parau, mendapatkan sambutan antusias dari para pemuda yang berjumlah sekitar 300 orang, rata-rata berusia 20-an tahun.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

BACA JUGA: Mengapa di Belanda Larang Orang Indonesia Belajar Pencak Silat?

Pemuda Soepratman, yang berbadan kurus menerima ucapan selamat dan pelukan hadirin dengan mata berkaca-kaca. Tampilnya generasi muda dalam pergerakan nasional saat itu merupakan salah satu dampak diberlakukannya politik etis oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20.

Politik ini terpaksa dilakukan Belanda karena menghadapi kecaman-kecaman keras, akibat kekejaman yang luar biasa terhadap tanah jajahannya. Termasuk sistem tanam paksa yang mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia menderita dan ribuan orang meninggal dunia.

BACA JUGA: Siapa Rasuna Said, Pahlawan Nasional Indonesia yang Jadi Doodle Google Hari Ini?

Dengan sistem etis Belanda memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menempuh pendidikan. Akibatnya banyak pemuda dari berbagai daerah yang berdatangan di Batavia untuk menempuh pendidikan.

Waktu itu, di luar Pulau Jawa, sekolah seperti MULO dapat dihitung dengan jari. Padahal MULO hanya setingkat SMP. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara adalah contoh daerah yang hanya mempunyai satu MULO di Makasar.

BACA JUGA: Tentara Inggris Bantai Rakyat Indonesia demi Bisa Kembali Menjajah

Di Batavia, para pemuda pelajar ini merasa senasib dan seperjuangan. Kemudian mereka mendirikan organisasi-organisasi kepemudaan berdasarkan kedaerahan. Maka lahirlah Jong (baca young = pemuda) Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Jong Timoreesch Bond, Sekar Rukun (organisasi pemuda pelajar dari Sunda), dan Pemuda Kaum Betawi. Kedua himpunan yang terakhir ini menolak menggunakan istilah ‘jong’ karena dianggap berbau kolonial.

Dua tahun menjelang Sumpah Pemuda juga berdiri Jong Islamieten Bond. Organisasi pemuda bernapaskan Islam ini, lebih didorong oleh kegiatan partai politik, yakni Partai Sarekat Islam (PSI).

BACA JUGA: Pernah Dijajah Inggris, Mengapa Indonesia tidak Jadi Anggota Negara Persemakmuran Britania Raya?

Para pemuda kemudian mengadakan Kongres Pemuda...