Bersatunya NU dan Muhammadiyah Bikin Penjajah Jepang Kebakaran Jenggot
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sejatinya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah bersaudara. Meski jalan yang ditempuh dalam berdakwah, dua organisasi tersebut punya misi yang sama yakni mempererat hubungan umat Islam di Indonesia.
Pertalian saudara antara NU dan Muhammadiyah sudah berlangsung lama. Salah satu kisah yang tercatat harum dalam sejarah adalah saat bergabung dengan Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI), badan federasi perhimpunan Islam yang didirikan pada 21 September 1937 di Surabaya.
BACA JUGA: Orang Madura 99 Persen Warga NU, 1 Persennya Warga Muhammadiyah
MIAI didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh Islam yang bersifat tradisional,yakni KH Wahab Chasbullah (NU), KH Mas Mansyur dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah). Beberapa organisasi Islam lokal juga hadir dalam pembentukannya.
Tujuan dibentuknya MIAI adalah untuk mengeratkan hubungan antarumat Islam di Indonesia. Kiprah MIAI di luar negeri pun pun tak kalah hebat, yakni mengeratkan hubungan umat Islam Indonesia dengan negara luar. Inisiatif ke arah persatuan Islam mengingat pada 1930-an diperlukan kerja sama yang erat untuk melawan penjajah Belanda.
BACA JUGA: Plus Minus Download GB WhatsApp (GB WA) Pro, Sembunyikan Status Online
MIAI bertekad dengan adanya friksi-friksi di bidang politik dan perbedaan paham dalam soal khilafiah di kalangan umat Islam perlu dibenahi di atas dasar ukhuwah Islamiyah. Organisasi-organisasi berasaskan Islam menyambut baik pembentukan MIAI.
Dalam perjuangannya, MIAI bersikap nonkooperatif terhadap penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Oleh sebab itu, Jepang segera membubarkan MIAI karena dianggap membahayakan pendudukannya di Indonesia. MIAI kemudian membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
BACA JUGA: Viral, Cak Nun Dihujat Gara-Gara Singgung Presiden Jokowi dan Luhut
Seperti MIAI, para pendukung utama Masyumi berasal dari Muhammadiyah dan NU. Ketika Pemilu 1955 terbentuk, Partai NU terpisah dari Masyumi. Masyumi sendiri kemudian dibubarkan Presiden Soekarno pada awal 1960-an.