Gus Dur Kiai NU yang Tergila-gila Wayang, Muhadjir Effendy Santri Muhammadiyah Keturunan Dalang
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pengharaman wayang sampai hari ini masih menuai perdebatan. Meski Ustadz Khalid Basalamah menegaskan ia tidak pernah mengeluarkan fatwa mengharamkan wayang, tetapi polemik wayang haram tetap menggelinding. Dua ormas Islam terbesar Indonesia, PP Muhammadiyah dan PBNU pun menyatakan wayang adalah media dakwah yang efektif.
Bicara wayang, Muhammadiyah, dan NU, kita bisa berkaca pada dua kisah dua tokoh dari dua ormas Islam tersebut. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kiai NU yang tergila-gila akan wayang, sementara Prof Muhadjir Effendy adalah santri Muhammadiyah yang memiliki ayah seorang dalang. Bahkan, ia sendiri sempat menjadi dalang.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Yang Pendendam Itu Unta Bukan Manusia
Jika wayang haram rasanya Gus Dur yang pernah menjadi Ketua PBNU dan Prof Muhadjir yang pernah menyandang Ketua PP Muhammadiyah itu tidak akan menjadi penggemar setia dari peninggalan Wali Songo tersebut.
Gus Dur bahkan pernah memboyong koleksi kaset wayang kulitnya ke Istana saat menjadi presiden. Ia bahkan penggemar dalang Ki Nartosabdo.
Kecintaan Gus Dur akan wayang sudah sejak kecil. Bahkan, Gus Dur harus diam-diam nonton wayang sampai Subuh karena takut diomeli kakeknya, KH Hasyim Asyari. (Cerita selengkapnya BACA DI SINI: Gus Dur Nonton Wayang Ngumpet-Ngumpet karena Takut Diomelin Mbah Hasyim)
Sementara Prof Muhadjir saat menjadi Mendikbud beberapa kali sempat menjadi dalang meski sebatas mucuki. Termasuk mendalang bareng dalang kondang Ki Manteb Sudarsono di Jakarta.
Seperti dinukil dari PWMU.co, Anwar Hudijono, Tenaga Ahli Gerakan Nasional Revolusi Mental Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan menuliskan, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) empat periode itu menganjurkan agar wayang menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter. Ia bahkan mengajak para dalang menjadi guru di sekolah di mana kebijakan tersebut sejalan dengan keputusan Tanwir Muhammadiyah Denpasar tahun 2002 tentang dakwah kultural.
BACA JUGA: Gus Baha: Sunan Giri Sebut Wayang Haram, Sunan Kudus Bilang Digepengkan Biar Halal
Muhadjir bukan anak bawang soal perwayangan. Ayahnya, Soeroya berprofesi sebagai dalang, meski aslinya mengajar sebagai guru. Ayahnya menjadi guru merangkap dalang di tiga zaman, Belanda, Jepang, dan kemerdekaan.
Meski sebagian masyarakat menganggapnya sebagai kiai, Soeraya lebih senang dipanggil guru. Dari pasangan Soeraya dan Sri Subitah lahir Muhadjir sebagai anak keenam.
Langkah Soeroya menekuni dunia perwayangan awalnya ditentang keluarganya. Maklum Soeroya berasal dari keluarga santri. Apalagi pada 1930-an kental sekali perbedaan antara Islam Mutihan (Santri) dengan Kaum Abangan dalam masyarakat Jawa.
BACA JUGA: Islam Abangan: Menyukai Wayang Tapi tak Menduakan Tuhan
Kakek Muhadjir alias ayahnya Soeraya, Kiai Muhammad Thalhah adalah kiai tesohor di wilayah Caruban, Kabupaten Madiun. Leluhurnya sampai waliyullah Ki Ageng Basyariyah di Sewulan (Madiun) dan Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo.
Jika dirunut lebih jauh berujung pada Panembahan Senapati, Raja Mataram. Guru Soeroya satu trah dengan Gus Dur. Juga satu jalur kerabat dengan Kiai Imam Zarkasi, pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.
Meski ditentang, Soeroya tetap mantap di jalananya. Dia meneruskan model dakwah Wali Songo dengan melakukan inovasi wayang.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Lap Gelas Pakai Celana Dalam, Aduk Kopi Pakai Sikat Gigi
Soeroya sangat mafhum, yang paling sensitif dari wayang adalah eksistensi para dewa karena bisa menyentuh akidah. Dalam wayang yang diwarnai pengaruh Hindhu, para dewa itu pencipta dan penguasa alam semesta atau tuhan. Maka disebut ulun. Sedang manusia disebut titah (mahluk).
Karena itu, ia melakukan tajdid (inovasi, pembaruan) bahwa para dewa itu mahluk biasa. Bahkan bisa dikalahkan manusia seperti dalam lakon Newatakawaca.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Ziarah ke Orang Mati Lebih Baik karena Gak Mungkin Nipu
Ketika menyebut subjek tuhan, Guru Soeroya memilih menggunakan istilah Kang Mahakuwasa (Yang Maha Kuasa), Kang Murbeng Dumadi (Yang Maha Pencipta), Kang Akarya Jagat (Sang Pembuat Jagat). Dalam setiap pegelaran, Guru Soeroya membuat satu sesi berisi “pengajian”. Biasanya mengurangi waktu perang kembang. Misalnya seorang pandita memberi wejangan kepada satria atau cantrik. Bisa Semar kepada anak-anaknya.
Konten “pengajian” biasanya pesan-pesan moral, amar ma’ruf nahi mungkar. Di antara sumber yang dipergunakan adalah kitab Serat Ambya, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha karya Pujangga Agung Tanah Jawa Ronggowarsito dan lain-lain. Guru Soeroya mengidola Ronggowarsito sampai dia menyandang nama saat tua, Suryowarsito.
BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Babi Saja Buatan Tuhan Diharamkan, Apalagi Wayang Buatan Manusia
Keberanian melakukan inovasi menjadikan dia menjadi dalang eksklusif. Termasuk dalang top dan mahal di jamannya. Fansnya tersebar se-antero Jatim, khususnya bagian barat. Banyak dalang yang mengikuti langkah Guru Soeroya yang menyelipkan “pengajian”. Misalnya Ki Ponijan Dipotaruno dari Padas, Ngawi.
Soeroya tidak hanya mendalang, dia juga piawi membuat wayang kulit. Sedikitnya ada dua set (kotak) wayang kulit komplit. Yang satu kotak dihibahkan ke UMM untuk dilestarikan.
BACA JUGA: Klarifikasi dan Minta Maaf, Ustadz Khalid: Tak Ada Kata-Kata Saya Haramkan Wayang
Sejak zaman Rektor Prof Malik Fadjar, UMM secara rutin menggelar wayang kulit secara rutin. Kebetulan pula Malik Fadjar juga penggemar wayang kulit. Di dinding rumahnya dihiasi wayang kulit.
Di dalam keluarganya, Malik dijuluki tokoh wayang Bima atau Werkudara karena posturnya semasa muda tinggi besar gagah. Apalagi dia senang menggendong ibunya seperti Bima menggendong ibunya, Kunti.
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Ratusan Orang NU Jadi Muhammadiyah karena Sholat Tarawih
Jadi sebenarnya dimensi kontroversial wayang kulit itu sudah ada sejak dulu kala. Tapi masyarakat Jawa sangat cerdas dan bijaksana dalam meredusir kontroversi atau konflik.
Dilandasi tanggung jawab menjaga keselerasan, keseimbangan dan keserasian. Harmonisasi sosial. Kena ikannya tanpa memperkeruh airnya.
BACA JUGA: Cak Nun: Wayang Itu Syirik Kalau Jadi Penyebab Menduakan Tuhan
Tidak semua persoalan diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. Kajian akal mulu. Adu argumen, berdebat sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Menang-menangan. Adu viral. Tapi sangat mengutamakan dengan pendekatan batin. Olah rasa.
Masyarakat Jawa sangat mafhum betapa sangat pentingnya menjaga kejernihan mata batin. Sebab di akhir jaman, manusia akan cenderung hanya menggunakan mata eksternal, doktrin ilmiah. Tetapi akan mengabaikan mata batin.
Fenomena itu disebut oleh Ronggowarsito sebagai jaman Kalatidha atau jaman gelap. Bukan jagat ini gelap tidak ada listrik atau lampu penerangan tetapi jagat kecil manusia (hati) ini yang gelap.
BACA JUGA:
Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh
Humor Gus Dur: Bikin Heboh Indonesia Mengaku Keturunan China Bermarga Tan di Singapura
Sujiwo Tejo: Wayang Diharamkan ya Monggo, Toh Sudah Sejak Zaman Sunan Giri
TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.