Sejarah

Orang Indo-Eropa Hidup Seperti Raja di Batavia, Punya Rumah Besar dan Dilayani Banyak Babu Kaum Pribumi

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Pada 1928 Batavia berpenduduk 450 ribu jiwa, 25 ribu di antaranya orang Eropa. Di antara orang Eropa itu, dua per tiganya Indo-Belanda alias blasteran.

Mereka tersebar di seluruh kota dan hidup dalam rumah besar maupun dalam tempat tinggal sederhana. Bahkan banyak yang tinggal di sepanjang jalan becek dan kotor di kampung-kampung yang terletak di pinggir kota, seperti Kemayoran, Jakarta Pusat.

Kampung ini dikenal dengan istilah Belanda Kemayoran. Maksudnya, Indo Belanda yang tinggal di Kemayoran.

Baca Juga: Sejarah dan Mitos Rebo Wekasan dalam Tradisi Jawa dan Islam

Namun bukan hanya di Kemayoran. Di beberapa kampung juga banyak tinggal para Indo Belanda atau orang China totok. Kalau yang belakangan ini tidak mau bergaul dengan orang kampung, tidak demikian dengan para Indo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Alwi Shahab, wartawan Republika pernah merawikan ketika masih anak-anak dan tinggal di Kwitang, dia banyak bergaul dengan para Indo Belanda. Hampir setiap hari Alwi Shahab bermain sepakbola dengan anak-anak Indo-Belanda di lapangan Kwitang dan Lapangan Gambir yang kini berubah menjadi Kawasan Monas.

Warga Belanda dan Indo meninggalkan Indonesia pertengahan 1950-an ketika hubungan kedua negara putus karena masalah Irian Barat (Papua). Pusat kota di Batavia pada 1928 didominasi rumah-rumah besar.

Baca Juga: Humor Gus Dur: Bendera Bintang Kejora OPM Berkibar di Papua, Anggap Saja Umbul-Umbul Sepak Bola

Sampai 1950-an, di jalan raya antara Kramat, Salemba, Matraman, dan Jatinegara, terdapat banyak rumah (gedung) besar dengan pekarangan yang begitu luas. Kini gedung-gedung tersebut berubah fungsi menjadi perkantoran, perusahaan dan perhotelan.

Salah satu bangunan bersejarah adalah Gedung Arsip Nasional dan Departemen Sosial yang berada di Jalan Salemba dulunya merupakan rumah tinggal. Rumah-rumah tersebut pada awalnya dibangun sebagai tempat tinggal di luar kota (county residence) bagi orang Eropa, tetapi secara bertahap mereka terserap menjadi wilayah pinggiran kota.

Ketika itu, tulis Pamela Pattynama dalam buku Recalling the Indies, status dan kemakmuran penduduk dapat diukur dari tempat tinggalnya. Beberapa rumah menyerupai istana dengan ruangan dingin beratap tinggi yang dilengkapi galeri dan teras marmer dilatari dengan halaman rumput, hiasan pohon palem dan pohon lainnya.

Baca Juga: Menteng, Daerah Elite dan Mentereng yang Dulunya Sepi Kini Jadi Kerajaan Banci

Kawasan Menteng dibangun awal 1920-an di atas tanah seluas 600 hektar. Selama pembangunan ratusan pekerja termasuk para arsitek, terlihat sibuk membangun Menteng untuk dijadikan sebagai kawasan elite Eropa.

Ketika Menteng dibangun, penduduknya yang merupakan orang Betawi dipindahkan ke Karet, Jakarta Pusat. Mereka yang tergusur dan mendapatkan ganti rugi dari lima sen menjadi lima perak (gulden) per m2. Syarikat Islam (SI) yang kala itu baru berdiri turut berperan membela penduduk hingga mendapat ganti rugi yang layak.

Seperti diceritakan Pamela Pattynama, dosen luar biasa dari Amsterdam University yang mengadakan penelitian untuk tesisnya, rumah-rumah besar tempat tinggal para elite Indo di Batavia punya banyak pembantu. Pada pukul lima pagi koki sudah menyiapkan kopi tubruk untuk tuan rumah yang bersantai sambil mengisap cerutu.

Baca Juga: Balada Kopi Pangku Pemuas Nafsu

Sementara tukang-tukang kebun menyapu dan membersihkan halaman dengan sapu lidi besar. Sedangkan tukang rumput membersihkan dan memangkas rumputnya. Sementara para babu sibuk menyiapkan hidangan sarapan yang terdiri dari bubur, roti dan biskuit, dengan selai atau keju.

.

 

Berita Terkait

Image

Sejarah Oplet Antik Si Doel yang Harganya Tembus Rp 15 Miliar