Sejarah

Ditulis dengan Huruf Pallawa, Prasasti Tugu di Museum Nasional Ungkap Sejarah Jakarta Sejak Raja Tarumanegara

Prasasti Tugu di Museum Nasional.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Gedung Gereja Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Gedung yang terakhir dibangun kembali pada 1747 oleh tuan tanah Belanda Justinus van der Vinch karena sempat rusak menjadi saksi sejarah Kampung Tugu adalah salah satu kampung tertua di Batavia atau Jakarta. Pembangunan kembali gedung itu tetap mempertahankan mimbar dan jendela yang masih autentik.

Hingga kini, Gereja Tugu masih bertahan dan digunakan sebagai tempat peribadatan masyarakat Tugu dan sekitarnya. Gedung gereja itu pun masih menghadap ke timur, bukan menghadap ke Jalan Raya Tugu di sisi utara.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Alasan gedung gereja menghadap timur karena dulu akses ke Kampung Tugu adalah dari saluran Kali Gomati. Pada zaman itu, kali atau sungai tersebut merupakan akses utama masyarakat di sana untuk bermobilitas.

Baca Juga: Suara Merdu Keroncong Kampung Tugu Masih Lestari Hingga Generasi ke Sepuluh

Kali Gomati dibangun pada abad V Masehi pada masa Kerajaan Tarumanegara di bawah kekuasaan raja ketiga, Purnawarman. Panjang Kali Gomati 6.112 tumbak atau sekitar 12 kilometer, selesai dibangun setelah digarap selama 21 hari.

Selesai pembangunan Kali Gomati, Raja Purnawarman membuat prasasti yang kini dikenal sebagai Prasasti Tugu, salah satu prasasti bersejarah yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia atau juga dikenal Museum Gajah.

Prasasti Tugu diukir dengan huruf Pallawa. Aksara Pallawa atau kadang kala ditulis sebagai Pallawa adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan dengan bahasanya yang bernama bahasa Sanskerta.

Baca Juga: Perkawinan Wayang Jawa dan Sunda Lahirkan Wayang Janda di Pentas Safari Cinta Cirebon

Aksara ini muncul dari aksara Brahmi. Istilah aksara Pallawa awalnya dipakai oleh ahli arkeologi Belanda, Nicolaas Johannes Krom.

Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India (sekitar Madras) antara abad ke-4 sampai abad ke-9 M. Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme.

Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara dan dipakai antara lain untuk menuliskan Bahasa Melayu Kuna. Di Nusantara, akksara ini digunakan bersama tumbuhnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha.

Baca Juga: Pangeran Cakrabuana Pendiri Kerajaan Cirebon, Gagal Jadi Raja Pajajaran karena Beragama Islam

Transformasi dari aksara Pallawa, yang disebut aksara Pasca-Pallawa, muncul di berbagai tempat Asia Tenggara. Di Indocina, aksara Pasca-Pallawa berkembang menjadi Khmer kuno yang kelak menurunkan aksara Thai dan Lao.

Di pulau Jawa, aksara Pasca-Pallawa kemudian disebut aksara Kawi yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya penyair. Di Nusantara bukti terawal keberadaan aksara ini adalah Prasasti Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur yang berasal dari abad ke-5 Masehi.

Prasasti Tugu Berasal dari Abad ke-5

Prasasti Tugu atau Prasasti Tarumanegara adalah bukti tulisan terawal yang ada di Jawa Barat sekaligus pulau Jawa. Prasasti Tugu atau Tarumanagara berasal dari pertengahan abad ke-5, ditulis menggunakan aksara Pallawa.

Prasasti Tugu ini sempat membuat terkesan Kaisar Jepang, Naruhito dan Permaisuri Owada Masako saat berkunjung ke Gedung A Museum Nasional Indonesia pada ruang Organisasi Sosial lantai 3, 20 Juni 2023. Prasasti Tugu menceritakan jejak sejarah keterkaitan harmoni antara manusia Nusantara dengan alam guna menjaga keberlanjutan lingkungan, khususnya pada tata kelola air.

Kali Gomati kala itu dibangun untuk mengairi sawah dan mencegah banjir. Namun seiring perjalanan waktu, berkembang menjadi sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran antardaerah.

Baca Juga: Kisah Kusni Kasdut, Berhasil Merampok Emas di Museum Gajah Usai Menyamar Jadi Polisi

Di lokasi Prasasti Tugu saat itu ditemukan apa yang disebut Batutumbuh di Tugu, Jakarta Utara. Penamaan daerah penemuan sebagai Batutumbuh juga ada kaitannya dengan penemuan Prasasti Tugu.

Karena tanah di Tugu, Jakarta Utara, tergerus, maka semakin kelihatan dasarnya terkubur batu. Karena batu semakin muncul ke permukaan, maka oleh masyarakat sekitar akhirnya disebut sebagai "batu tumbuh".

Benda bersejarah itu kemudian diidentifikasi dan dinyatakan sebagai prasasti bersejarah. Setelah itu batu tersebut lalu dipindahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum Nasional) pada 1911 setelah sebelumnya diletakkan sementara di Gereja Tugu yang terletak di Kampung Tugu.

Baca Juga: Sejarah dan Mitos Rebo Wekasan dalam Tradisi Jawa dan Islam

Di awal penemuannya pada tahun 1878, Prasasti Tugu dikeramatkan warga sekitar. Prasasti Tugu berisi keterangan mengenai penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintah raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman.

Sungai tersebut digali untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi di masa pemerintah Purnawarman. Selain itu, Sungai Gomati juga dibuat untuk mengatasi kekeringan saat musim kemarau.

Prasasti Tugu dipahat di batu andesit yang berbentuk bulat telur setinggi sekitar satu meter. Dalam prasasti tersebut terdapat lima barus tulisan beraksara Pallawa, berbahasa Sansekerta, berbentuk sloka dengan metrum anustubh.

Baca Juga: De Javasche Bank yang Biayani Belanda Kehabisan Uang Gara-Gara Perang Jawa Melawan Pangeran Diponegoro

Bentuk huruf Pallawa yang mirip dengan Prasasti Cidanghiang pada Prasasti Tugu menunjukkan diperkirakan berasal dari pertengahan abad V. Di Prasasti Tugu terdapat pahatan hiasan tongkat yang ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahat tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.

Dalam Ensklopedia Jakarta (Eni Setiati Dkk, 2009), Ahli Filologi Prof Ng Poerbatjaraka menjelaskan, kata Candrabhaga dalam Prasasti Tugu menjadi dua kata, yaitu Candra dan Bhaga. Kata Chandra dalam bahasa sansekerta adalah sama dengan kata “sasi” dalam bahasa Jawa Kuno.

Candrabhaga identik dengan kata “Sasibhaga”, yang diterjemahkan secara terbalik menjadi “Bhagasi”, dan lama-kelamaan mengalami perubahan penulisan dan sebutan. Beberapa arsip abad ke-19 sampai awal 20, menerapkan kata “Backassie”, “Backasie”, “Bakassie”, “Bekassie, “Bekassi”, dan terakhir “Bekasi”.

Baca Juga: Cerita Terbentuknya Karawaci (Kampung Rawa China), dari Rawa Jadi Perkebunan dan Peternakan Babi

Pada 1911, prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kini Museum Nasional. Setelah Prasasti Tugu dipindahkan, para arkeolog menggadakan penggalian pada 1973 di lokasi penemuan Prasasti Tugu. Mereka menemukan sejumlah pecahan gerabah dari berbagai jenis, pola hias, dan ukuran yang mempunyai persamaan dengan gerabah Kompleks Buni.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: [email protected]. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.