Menonton Hukuman Gantung dan Pancung di Balai Kota, Darah Berceceran Saat Kepala Terlepas dari Badan
KURUSETRA -- Salam Sedulur.. Jakarta ketika masih bernama Batavia dan dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, hukuman mati diberlakukan dengan cara ekstrem. Terpidana mati akan dieksekusi mati dengan cara hukum pancung alias tebas leher di lapangan Balai Kota dan bisa disaksikan masyarakat umum.
Hukuman pancung memang pernah diakrabi penduduknya selama dua setengah abad. Sepertinya, pelaksanaan hukuman yang memisahkan leher dari badan ini menjadi hiburan dan ditonton banyak orang.
BACA JUGA: Ribut-Ribut Soal Rumput JIS, Begini Dulu Orang Batavia Jual Beli Rumput
.
Sehari sebelum eksekusi, pejabat pengadilan mendatangi kampung-kampung di sekitar Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI Jakarta). Dengan pengeras suara yang terbuat dari kaleng mereka menyuruh warga berbondong-bondong datang ke lapangan Balai Kota yang dalam bahasa Belanda disebut stadhuis.
Tempat tiang pemancungan di halaman Balai Kota hingga pada masa Belanda dinamakan golgenveld. Di Museum Sejarah Jakarta, di Jl Falatehan I, Jakarta Barat, hingga kini masih tersimpan pedang keadilan sepanjang 1,5 meter.
BACA JUGA: Nama Kota Tua Diganti Jadi Batavia: Ini Pintu Kecil Menuju Benteng Batavia Zaman Belanda
Pedang Keadilan digunakan algojo sebagai senjata untuk memenggal terpidana mati, semacam guillotine yang dipergunakan pada masa revolusi Prancis saat rakyat jelata memancung raja dan permaisurinya. Darah berceceran di sekitar halaman Balai Kota usai hukuman pancung dilaksanakan.
Kerapnya hukuman mati di tiang gantungan diuraikan oleh sejarawan dan dan arkeolog Belanda, Hans Bonke. Menurutnya, pada awal abad ke-18 di Amsterdam yang berpenduduk 210 ribu jiwa dilakukan lima kali hukuman mati per tahun. Di Batavia, yang berpenduduk 130 ribu jiwa, angka hukuman mati mencapai dua kali lipat.
BACA JUGA: Banjir Darah di Batavia Usai Tentara VOC Bantai 10 Ribu Orang China dari Balita Hingga Manula
Daftar kasus hukuman mati di Batavia adalah....