Budaya

Asal Usul Mudik Ternyata dari Bahasa Betawi, Ini Sejarahnya

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Siapa yang Lebaran tahun ini memutuskan untuk mudik ke kampung halaman? Biasanya penduduk yang merantau ke kota-kota besar, terutama Jakarta, akan pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarganya, seperti orang tua, istri atau suami, dan anak-anak. Namun, bagi kaum pribumi Jakarta alias orang Betawi, mudik adalah ritual langka yang nyaris mustahil dilakukan. Lagi pula mau mudik ke mana, wong Jakarta kampungnya sendiri.

Sejak era Hindia Belanda, banyak orang Jawa yang bedol desa ke Batavia atau Jakarta, mudik adalah kesempatan emas yang wajib dilakukan. Mudik ke kampung halaman dengan membawa segala hasil dan cerita kesuksesan di kota sekaligus menegok orang tua. Sejak era Belanda dan Eropa, orang Jawa biasa menggunakan berbagai transportasi untuk mudik. Tapi, naik kereta api ke kampung halaman adalah primadonanya.

BACA JUGA: Mudik ke Jombang, Gus Dur Deg-degan Gara-Gara Disetiri Kiai Wahab yang tak Bisa Melihat

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lain orang Jawa, lain orang Minangkabau. Orang Minangkabau sejak kecil dididik untuk merantau, sehingga mudik Lebaran dikenal dengan istilah "Pulang Besamo" yang secara harfiah diartikan pulang bersama-sama dengan menggunakan mobil yang di kaca belakang ditempeli striker rombongan.

Sampai di kampung halaman, para perantau akan disambut seperti juragan kapal. Pada masa mudik itulah, baik di Jawa atau Sumatra dan wilayah lainnya di Nusantara, pesan kuat dari para perantau adalah: Merantau ke kota bisa mengubah nasib.

BACA JUGA: Pulang Basamo, Tradisi Mudik Orang Minangkabau

Lalu, bagaimana orang Betawi, mudik ke mana?

Walau tidak pulang kampung, akar kata mudik berasal dari "udik" milik orang Betawi. Artinya, menuju ke "udik" (hulu, kampung yang di utara). Lawan kata udik adalah milir, menuju ke hilir, menuju ke selatan atau laut) atau kembali berangkat kerja mencari sesuap nasi. Namun, ada yang menyebut mudik berasal dari kata Jawa Ngoko, "mulih dilik" yang artinya pulang sebentar setelah merantau.

Diksi udik lalu diserap secara sosial ketika geliat urbanisasi masif di Indonesia pada medio 1960-an. Orang desa di berbagai daerah merantau ke Jakarta. Jakarta semakin diserbu kaum perantau pada era Orba, awal 1970-an di mana urbanisasi jadi salah satu proyek pemerintah Presiden Soeharto.

BACA JUGA: Bacaan Takbir Lebaran 2023 Idul Fitri 1444 H untuk Warga Muhammadiyah dan NU

Mudik adalah fenomena sosial manusia beserta agama kepercayaannya. Mereka yang merantau akan kembali ke kampung menjenguk keluarganya. Pada medio 1950-an, sebenarnya mudik tidak terlalu istimewa. Polisi tidak terlalu disibukkan dengan arus lalu lintas, tidak perlu menyiapkan posko khusus, apalagi mengerahkan aparat keamanan khusus di hari raya.

Penduduk Jakarta pada 70 tahun lalu tidak sampai dua juta jiwa. Meski masih sedikit, gairah menyambut hari raya sangat besar. Bahkan pada 10 hari terakhir orang-orang di Jakarta, khususnya warga Betawi sering likuran atau iktikaf, yakni bermalam di masjid untuk mengejar malam Lailatul Qadar.

BACA JUGA: Download GB WhatsApp dan Gampang Instal di HP, Gratis Link Download, Bonus 30 Fitur Menarik

Malam likuran sangat dinanti. Suasana di kampung pada malam hari selama 10 hari terakhir Ramadhan, sudah seperti siang. Halaman rumah diterangi lampu minyak, petromaks, atau lilin. Sementara, tembok-tembok rumah dikapur agar terlihat baru.

Mereka rela begadang sambil mengaji, tadarus, dan berzikir. Saking gigihnya tak jarang para orang tua pada masa itu banyak yang mengkhatamkan Alquran tiga sampai lima kali selama Ramadhan.

BACA JUGA: Ulama-Ulama yang Mendukung Penggunaan Hisab Seperti Muhammadiyah daripada Rukyat NU dan Pemerintah

Para pemudanya mendaras Alquran sembari begadang. Sedangkan, ibu-ibu dan anak gadis tidak kalah sibuk karena membuat kue Lebaran, seperti kue nastar, lapis, wajik, dan tidak ketinggalan dodol serta tape uli.

Bagi orang Betawi, Lebaran sudah disambut sejak awal-awal Ramadhan. Sehari sebelum 1 Ramadhan, mereka sudah bergembira dengan memukul beduk sepanjang hari. Beduk hanya berhenti ditabuh ketika dekat waktu azan. Mereka juga bersuci dengan cara mandi di kali-kali yang saat itu masih banyak yang berair bersih. Mereka mencuci kepala alias keramas. Bukan dengan sampo seperti sekarang, melainkan menggunakan air merang.

BACA JUGA: 9 Alasan Mengapa Muhammadiyah Gunakan Hisab Ketimbang Pakai Rukyat NU dan Pemerintah

Ramadhan adalah bulan istimewa tak hanya dari segi ibadah, tapi juga kulinernya. Orang Betawi zaman itu selalu menyiapkan hidangan daging kambing dan sapi yang masuk daftar menu makanan. Karena itu, banyak yang andilan atau patungan untuk membeli sapi yang disembelih dan dagingnya dibagi-bagi kepada 20-30 keluarga.

Setelah daging sapi disemur, mereka pun menggelar kenduri. Ketupat, semur daging, sambal godok labu, opor ayam, jadi menu Lebaran. Undangan makan pun berjibun. Takbiran pun sangat meriah di Jakarta. Selain di masjid, takbir keliling dengan memukul beduk menjadikan suasana kemeriahan begitu kental terasa.

BACA JUGA: Muhammadiyah Sering Lebaran Duluan, Gus Dur: NU dan Muhammadiyah Ajarannya Merujuk ke Rasulullah

Pertanyaannya, apakah orang Betawi mudik saat Lebaran?