Sejarah

Raden Fatah di Balik Wayang Hanya Bermata Satu dan Tradisi Sekatenan

Raden Fatah, Raja Kerajaan Demak pertama memohon pertimbangan Wali Songo agar wayang tetap bisa berkembang sesuai ajaran Islam.
Raden Fatah, Raja Kerajaan Demak pertama memohon pertimbangan Wali Songo agar wayang tetap bisa berkembang sesuai ajaran Islam.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Raden Fatah pendiri Kerajaan Demak punya andil besar dalam penyebaran Islam melalui media dakwah wayang. Bahkan, karena perintahnya dan atas saran para Wali Songo, wayang yang awalnya menampilkan gambaran utuh seperti manusia, diubah serta dimodifikasi hingga menjadi satu dimensi. Karena perintah agama itulah, wayang kulit kini hanya bermata satu.

Identitas politik Kesultanan Demak secara prinsip adalah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kerajaan Demak berdiri tanpa banyak keributan dan perebutan kekuasaan. Legitimasi Kerajaan Demak sebagai penerus kejayaan Kerajaan Majapahit didapat karena sistem politik dan hukum yang dipakai sama dengan Majapahit. Rakyat pun akhirnya memilih tunduk dan beradaptasi dengan kerajaan baru tersebut.

Raden Fatah dan Wali Songo lalu memanfaatkan jalan kesenian untuk menyebarkan syiar Islam. Raden Fatah yang sangat gemar dengan kesenian wayang, meminta saran dan pertimbangan kepada para ulama agar kesenian wayang tetap lestari dan berkembang sesuai ajaran Islam.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

BACA JUGA:
Apa Kira-Kira Jawaban Gus Dur Soal Isu Wayang Haram?
Ruwatan, Ritual Sakral untuk Buang Sial

Dari diskusi, rapat, dan pertimbangan, Wali Songo mengeluarkan beberapa pendapat agar wayang bisa tetap lestari dengan tetap berada dalam koridor agama Islam. Wayang bisa diteruskan asal diubah sesuai zaman yang berlaku dan bisa dijadikan alat dakwah Islam. Para ulama juga merekomendasikan bentuk wayang diubah agar tidak lagi berwujud seperti arca-arca yang mirip manusia.

Untuk membuang kemusyrikan, cerita-cerita dewa dalam lakon wayang pun harus diubah dan diganti dengan cerita yang bernafaskan keislaman. Dakwah Islam yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, sopan santun, kesusilaan, dan tauhid perlu masuk dalam lakon pewayangan.

Wayang Kulit hanya memiliki satu mata.
Wayang Kulit hanya memiliki satu mata.

Tokoh-tokoh dalam cerita wayang dan kejadian-kejadiannya hanya dijadikan sebagai lambang dan perlu digantikan tafsirannya sesuai ajaran Islam. Tak hanya itu, para ulama juga meminta pertunjukan wayang mengikuti aturan susila dan jauh dari maksiat. Karenanya, pagelaran wayang digelar di masjid dan rakyat yang mau menonton wajib berwudhu dan membaca syahadat sebagai tiket masuknya.

BACA JUGA: Cara Dakwah Wali Songo: Ajak Rakyat Nonton Wayang, Tiket Masuknya Baca Syahadat

Unsur kesenian yang menjadi pelengkap wayang, seperti gamelan, tembang-tembang, tokoh-tokoh, dan lakon-lakon lainnya pun diperbolehkan, asalkan tetap bernafaskan Islam.

Atas rekomendasi itu, Raden Fatah memerintahkan agar ada penyempurnaan dan perubahan bentuk, wujud, cara pertunjukan, dan alat perlengkapan wayang kulit purwa yang merupakan warisan Kerajaan Majapahit. Tujuannya agar wayang tetap berkembang dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Berdasarkan perintah Raden Fatah, wayang lalu diubah pipih menjadi dua dimensi. Wayang digambar miring sehingga tidak lagi menyerupai arca-arca di candi.

BACA JUGA: Tradisi Puasa Rebo Wekasan, Adakah Landasan Amalan dalam Islam?

Kulit sapi atau kerbau menjadi bahan pembuatan wayang. Yang diperindah dengan memberikan perhiasan warna lalu diberi pegangan. Raden Fatah juga menciptakan kayon (gulungan) yang ditancapkan di tengah panggung kelir dan menciptakan simpingan.

Sultan Demak itu juga membuat seperangkat gamelan laras pelog yang dimainkan di hari-hari tertentu di halaman Masjid Agung Demak. Gamelan itu dikenal dengan nama Gamelan Sekati.

Dalang memanikan wayang. Foto: Republika
Dalang memanikan wayang. Foto: Republika

Tradisi memainkan gamelan ini masih dilestarikan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta setiap bulan Maulud dalam perayaan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Perayaan itu kini dikenal sebagai Sekaten (dari kata Syahadatain).

BACA JUGA: Cerita Mistik di Balik Pantangan Anak Keturunan Cirebon Makan Labu Hitam