Sejarah

Lima Tahun Perangi Diponegoro di Perang Jawa, Belanda Bangkrut Kehabisan Uang, demi Isi Kas Negara yang Kosong, Orang Jawa Dipaksa Produksi Gula Pasir

Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Lima tahun memerangi Pangeran Diponegoro dan pasukannya dalam Perang Jawa, Kerajaan Hindia Belanda nyaris bangkrut. Untuk mengisi kembali kas negara yang kosong untuk membiayai perang, Belanda memaksa orang-orang di Pulau Jawa menanam tebu yang kemudian diolah menjadi gula lewat sistem tanam paksa.

Saat itu Kerajaan Belanda berada di ujung tanduk, karena hanya dalam tempo lima tahun dari 1830--1835, Belanda hancur lebur setelah kehilangan sumber pendapatan yang sebagian besar disumbang dari kawasan industrinya di Belgia. Namun, Belanda selamat dari bahaya kebangkrutan negara berkat gula yang menjadi produk utama ekspor komoditas dari Jawa ke Eropa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Untuk menyelamatkan negara, Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Tanam Paksa di negeri jajahan. Sistem ini mewajibkan para petani di Pulau Jawa menanam tanaman ekspor seperti tebu, teh, tembakau, kopi, karet di seperlima lahan mereka.

BACA JUGA: Apa Alasan Raden Saleh Membuat Lukisan Tandingan Penangkapan Pangeran Diponegoro?

Setelah panen, hasilnya dijual langsung ke negara. Kebijakan ini membuat Belanda hanya dalam waktu 10 tahun menerima keuntungan 9,3 juta Gulden per tahun dari perdagangan ekspor tanaman industri ke Eropa. Bahkan di dasawarsa kedua laba naik hingga 14,1 juta Gulden.

Uang itu terus mengalir ke Negeri Kincir Angin untuk memperkaya penguasaha-pengusaha pabrik, pedagang, dan saudagar. Dari mereka tumbuh modal perdagangan dan industri swasta dan sebagian modal kembali ke Jawa dan bentuk lahan perkebunan.

BACA JUGA: Raden Saleh, Lukisan Pangeran Diponegoro, dan Perang Jawa yang Bikin Bangkrut Belanda

Tanaman tebu sebenarnya belum mendapatkan perhatian dari warga pribumi di Indonesia. Karena penduduk asli di Jawa saat itu mengonsumsi gula merah dari nira kelapa atau nira tebu untuk mendapatkan rasa manis dalam makanan.

Pengolahan nira tebu menjadi gula kristal waktu itu belum dilirik. Orang Jawa lebih menyukai tebu untuk diambil airnya. 

BACA JUGA: Karena Kurang Biaya, Pemerintah Hindia Belanda Batalkan Rencana Pemindahan Ibu Kota

Dalam buku History of Java yang ditulis Raffles, awalnya tebu tidak dikonsumsi sebagai bahan pemanis, melainkan sebagai minuman penyegar. Yakni, dengan mengunyah batang tebu untuk mendapatkan air tebu.

Pasca penghapusan Tanam Paksa dan kebebasan kepemilikan tanah oleh swasta melalui Undang-Undang Agraria Tahun 1870, investasi asing semakin deras masuk ke Jawa. Penghapusan oleh Pemerintah Hindia Belanda itu membuat pabrik gula diharuskan menanam tebu sendiri dengan sistem sewa tanah dari petani.

Baca Juga: Tabrakan Kereta di Cicalengka Bandung, di Zaman Belanda Kecelakaan Kereta Terjadi karena Ditabrak Sapi

Pabrik gula berkembang pesat di pulau Jawa... 

Pabrik Gula Berkembang Pesat

Pada tahun 1930 industri gula mulai berkembang pesat. Di era tersebut di Pulau Jawa terdapat 179 buah pabrik gula dan 16 perusahaan tebu.

Berkembamgnya pabrik gula membuat Pulau Jawa terkenal dengan penghasil tebu kedua setelah Cuba. Pabrik-pabrik gula tersebut berdiri di pesisir utara Pulau Jawa.

Di pesisir utara Jawa Tengah saat itu sudah berdiri puluhan pabrik gula, pabrik pengolahan nila, gudang-gudang kopi dan teh. Salah satu wilayah yang paling banyak memiliki kebun tebu dan pabrik pengolahan tebu menjadi gula adalah Cirebon.

BACA JUGA: Jual Beli Jabatan Sudah Ada Sejak Era Hindia Belanda

Hingga 1865 ada 700 hektar tanaman tebu yang tumbuh di Cirebon. Setelah Undang-Undang Agraria disahkan pemerintah kolonial pada 1870, banyak pengusaha dari Eropa terutama Belanda yang ikut menanamkan modal pada bisnis pengolahan tebu di Cirebon.

Karena letaknya yang strategis, para pengusaha perkebunan menjadikan Cirebon sebagai basis gudang, kantor dagang, dan pabrik. Saat sistem Tanam Paksa untuk tebu sekaligus membebaskan batasan ekspor gula ke Eropa dihapus pada 1878, bisnis gula kian menggeliat.

BACA JUGA: Saat Negara-Negara di Dunia Bangkrut, Kelaparan Melanda Hindia Belanda

Di industri gula mulai merambah Tegal dan sekitarnya sejak Sistem Tanam Paksa/ Cultuurstelsel (1830-1870) diberlakukan. Penanaman tebu di dataran rendah Brebes, Tegal, Pekalongan merupakan perluasan kegiatan bisnis gula Belanda yang telah ada sebelumnya di Cirebon sejak awal abad ke-19.

Ketika perusahaan dagang Nederlandsch Handel Maatschappij didirikan pada 1824 sebagai pengganti VOC, produksi tebu yang awalnya hanya ada di pesisir Jakarta-Banten dipindah ke wilayah timur Cirebon. Hal itu selain karena kecocokan iklim dan tanah, sawah yang luas dan jumlah penduduk memadai sangat mendukung untuk dimulainya pembukaan lahan tebu beserta pabrik pengolahan di Tegal.

BACA JUGA: Penyebab Kereta Anjlok Terungkap, Ternyata Gara-Gara Kerbau

Tak hanya di Cirebon, Tegal dan Pekalongan juga dijadikan sebagai lokasi pembukaan lahan tebu dan pabrik pengolahan. Ada tiga pabrik gula modern di Karesidenan Pekalongan yang dibangun antara 1837-1838.

Tiga pabrik itu adalah Pabrik Gula Sragie di distrik Sragi (sekarang wilayah Pemalang), Pabrik Gula Wonopringgo di distrik Sawangan, dan Pabrik Gula Kalimatie yang terletak di dekat distrik Batang. Pekalongan juga menjadi sentra kopi yang ditanam di dataran sedang wilayah karesidenan selatan (Pekajangan, Bandar Gumiwang, Bandar Sidayu) dan di perbukitan sebelah timur Batang.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: [email protected]. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.