Sejarah

Lewat Wayang, Sunan Kalijaga Bicara Demokrasi, Penguasa, Perang Saudara, Hingga Pemindahan Ibu Kota

Sunan Kalijaga berdakwah lewat kesenian dan budaya. Wayang dan gamelan dipilih menjadi media dakwah yang terbukti efektif menyampaikan ajaran Islam. Foto: Republika.
Sunan Kalijaga berdakwah lewat kesenian dan budaya. Wayang dan gamelan dipilih menjadi media dakwah yang terbukti efektif menyampaikan ajaran Islam. Foto: Republika.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Cak Nun bercerita soal perjuangan Sunan Kalijaga yang menyebarkan ajaran Islam melalui seni dan budaya. Wayang dan gamelan dipilih menjadi media untuk menyebarkan dakwahnya kepada rakyat yang ketika itu masih menganut ajaran Hindu dan Budha.

Dinukil dari laman caknun.com, Cak Nun menceritakan soal bagaimana orang harus mengenal Indonesi, mencintai Indonesia, dan peduli kepada Indonesia. Seperti cintanya Sunan Kalijaga kepada agama dan negara.

BACA JUGA: Cak Nun: Buzzer-Buzzer akan Kualat dan Kena Karma

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Cuma wayang? Cuma bayang-bayang? Lantas yang nyata yang mana? Kamu pikir Indonesia ini nyata? Kamu pikir yang kayak gini ini Indonesia? Kamu pikir Indonesia yang begini ini nyata sebagai Indonesia?”

“Sungguh-sungguhkah kamu mengenal Indonesia, mencintai dan peduli padanya? Benarkah kamu mencintai dan peduli padanya? Bisakah kamu berpikir bahwa bangsa yang seperti ini adalah bangsa Indonesia? Kamu pikir ini adalah manusia Indonesia. Kamu pikir begini ini Garuda?”

“Lho bagaimana sih Mbah ini .”

BACA JUGA: Cak Nun: Wayang Itu Syirik Kalau Jadi Penyebab Menduakan Tuhan

“Kamu pikir yang begini ini kita? Kamu pikir Indonesia sekonyol ini? Serendah diri ini? Sepengemis ini? Se-tak-cerdas ini? Selemah ini? Semiskin ini? Sehina ini? Segampang ini ditipu daya? Dikooptasi, dikolonisasi, dimobilisasi? Kamu pikir Indonesia lebih memilih makanan daripada pakaian? Kamu pikir Indonesia berkata: Biarlah aku tak pakai cawat dan celana, asalkan pakai jas. Biarlah aku tak berpakaian, asalkan bisa makan? Biarlah aku tak punya martabat, asal makmur sejahtera?”

“Mbah ini omong apa!”

“Tidak. Dan bukan. Ini bukan Indonesia. Ini bukan bangsa Indonesia. Ini bukan manusia Indonesia. Ini bukan karakter Indonesia! Ini bukan Garuda!”

BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh

Sebenarnya saya tidak mendengar kata-kata apapun darinya. Saya juga tidak peduli pada sanggahan atau pertanyaannya. Saya cuma membaca running text.

“Indonesia tidak peduli pada Indonesia. Manusia Indonesia tidak peduli pada manusia Indonesia. Bangsa Indonesia tidak peduli pada bangsa Indonesia. Kita semua tidak peduli pada diri kita, pada siapa kita, pada harga diri kita. Sebab kita hanya mengurusi kepentingan, ambisi, benda-benda, materi, uang, utang-utang. Kita tidak mengerti kebesaran kita, sehingga menjadi benar-benar kerdil”

“Saya tidak mau ikut. Saya tidak gabung. Saya sedang pelan-pelan mencari Indonesia. Tapi saya tidak ngundat-undat. Saya tidak mengutuk. Saya tidak menuding. Saya tidak menikmati kesalahan siapa-siapa. Saya mencari Indonesia .”

BACA JUGA: Soal Wayang Ustadz Khalid, Ki Warseno: Kita Dalang Juga Pakai Aturan Lho

Sebenarnya saya juga tidak peduli apa isi running text itu. Saya membacanya saja. Pelan-pelan saya “sinau bareng” bersama tiga saudara saya dan satu Pancer saya. Juga saya tidak peduli tidak dipahami oleh siapa pun saja. Hidup saya bukan untuk dipahami. Hidup saya untuk memahami.

“Prabu Kresna, arsitek perang Bharatayudha, adalah manifestasi peran Batara Wisnu. Anda tahu di sekitar itu ada Dewa Narada, Dewa Bayu dan lain-lain. Dulu orang berijtihad, mencari kawruh rohani, melacak peran-peran di luar dunia yang kasat mata. Puncaknya menemukan ada Sang Maha Penguasa Tunggal yang mereka sebut dengan sejumlah karakter berdasar fungsinya: Sang Hyang Wenang, yang orang Islam menyebutnya Al-Qadir, berdasar informasi dari Tuhan sendiri. Sang Hyang Widhi, Al-Wahid, Sang Hyang Tunggal, Al-Ahad, Gusti Kang Akaryo Jagat, Al-Khaliq dll. Pemeran-pemeran di area rohaniyah itu kemudian diperkenalkan dengan idiom: Allah, Malaikat."

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Dimaki Bodoh, Tukang Becak Bilang Kalau Bisa Baca Sudah Jadi Polisi

“Sunan Kalijaga melihat bahwa ada wilayah fungsi yang belum dikover oleh epik Ramayana yang ada Prabu Rama dan Mahabharata dengan pemeran utama Prabu Kresna. Kresna berada pada garis sanad dari Wisnu, Guru sampai Hyang Wenang. Sunan Kalijaga menemukan bahwa ada dialektika peran yang lebih luas, ragam dan dialektis. Maka di dalam sosialisasi Wayang Mahabharata ia menambahkan tokoh Semar, dengan tiga putranya. Yang Gareng dan Petruk diambil dari kaum jin, untuk menggambarkan peran non-materi. Yang Bagong adalah bayangan Semar sendiri, atau representasi beberapa dimensi yang berasal dari Semar sendiri, atau semacam harapan regenerasi .”

“Aduh Mbah, berat memahaminya," kata si penanya. Saya tidak sempat menanggapi, karena harus terus memperhatikan dan membacakan running text.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Kalau Punya Duit Saya Mending Dagang Rambutan daripada Bikin Bank Islam

“Semar itu dua dari tiga bersaudara. Yang sulung Mbah Togog, ia menelan dunia berhenti di tenggorokannya. Adik bungsunya Batara Guru menelan bumi sampai keluar dari duburnya. Sedangkan Semar bola bumi berhenti di perutnya. Togog ditugasi oleh Sang Hyang Wenang untuk memuntahkan kejahatan, sehingga selama di bumi ia mengawal tokoh-tokoh durhaka dan korup. Batara Guru steril dari jasad dunia sehingga ia bertugas mengelola software kehidupan manusia. Sedangkan Semar menanggung kehidupan penghuni bumi di perutnya”

“Allahu Akbar”, si penanya mengeluh, “mimpi apa saya semalam .”

“Semar paling berat tugasnya. Ia mengawal setiap penguasa yang baik. Semar bertugas jadi Punakawan. Punakawan bukan badut, bukan staf ahli, bukan pembantu khusus. Punakawan memiliki ilmu dan kawruh jauh melebihi penguasa, dan kemampuan mental dan kewenangan kharismatik untuk bisa menegur atau bahkan melengserkan penguasa. Semar adalah perwujudan demokrasi. Ia hanya rakyat kecil, Lurah di desa Karang Kedempel. Tapi sekaligus ia adalah senior para Dewa, yang Batara Guru pun bisa dihajarnya. Senjata utama Semar adalah kentut. Yakni bau busuk dunia. Kebusukan hidupnya penghuni bumi. Batara Guru yang steril dari dunia jasad, tak kuat menanggung bau busuk kentutnya Semar yang mampu menembus dunia rohani.”

BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Babi Saja Buatan Tuhan Diharamkan, Apalagi Wayang Buatan Manusia

“Demokrasi Semar adalah seutuh-utuhnya demokrasi. Demokrasi adalah bulatan. Titik Semar sebagai rakyat kecil menjadi satu dengan titik Semar sebagai sesepuh para Dewa. Demokrasi Semar tidak struktural-vertikal, tetapi lingkaran atau bulatan. Rakyat adalah pemilik kedaulatan menurut demokrasi. Tetapi dalam praktik demokrasi di banyak Negara manusia, wakil rakyat merasa menjadi atasan dari yang memberi mandat perwakilan."

"Penguasa yang dipilih oleh rakyat dan wakil-wakilnya, merasa lebih tinggi kekuasaan dan martabatnya dibanding rakyat. Mereka semua menganggap rakyat adalah bawahan mereka. Akhirnya rakyat sendiri terseret menyimpulkan bahwa penguasa dan wakil mereka adalah atasan mereka. Rakyat membungkuk-bungkuk dan mencium tangannya”

“Sekarang ini pseudo-demokrasi di suatu Negeri menghasilkan eskalasi permusuhan yang semakin sukar dikendalikan. Semar kentut sangat keras. Batara Guru memerintahkan Kresna untuk mengantisipasi kemungkinan Perang Bharatayudha. Tapi Kresna menjumpai bahwa Raden Arjuna tidak lagi bertanya: Kenapa harus berperang dan membunuh saudara kami sendiri? Padahal Kresna harus tetap memastikan regulasi Wayang bahwa Wisanggeni dan Ontoseno atau Ontorejo tidak boleh ikut terjun dalam peperangan, karena mereka sangat sakti.”

BACA JUGA: Apa Kira-Kira Jawaban Gus Dur Soal Isu Wayang Haram?

“Sebenarnya agak paradoksal policy Kresna ini. Kalau Wisanggeni ikut perang, mungkin cukup duel beberapa orang, tidak perlu pertempuran massal. Sejak awal, Sunan Kalijaga sebagai Kresna, aslinya bersikeras untuk cenderung diadakan dialog dulu antara Kresna dengan Arjuna. Juga Sunan Kalijaga sebagai Semar bisa main di ruang dalam Istana untuk menegosiasikan kedamaian."

"Sementara Sunan Kalijaga sebagai Wisanggeni dan Ontoseno terus rajin membantu Semar menyebarkan keteduhan dan ketenteraman di kalangan rakyat. Kalau perlu dibuka kemungkinan untuk Bedhol Negoro dengan menyepakati lokasi Keraton baru Astinapura.”

“Tetapi ide pemindahan Ibu Kota Astinapura itu bisa dimanipulasi dan dieksploitasi untuk kepentingan salah satu di antara Pandawa atau Kurawa. Akan jadi bumerang bagi seluruh rakyat. Memang membingungkan, tetapi bagaimanapun Sunan Kalijaga bukanlah Sang Hyang Wenang. Innalloha ‘ala kulli syai`in qodir. Sang Sutradara Agung sudah menuliskan skenario-Nya sendiri di Kitab Lauhul Mahfudh."

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Saya Dibuntuti Polisi Kirain Mau Ditangkap Ternyata Mau Cium Tangan

TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di KURUSETRA dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.